Switer
Hangat untuk Ayah
Karya :
Marisa Nafilah
Pagi yang cerah mengawali
aktivitasku hari ini, dengan pakaianku yang seadanya dan tak ketinggalan topi
butut yang menjadi saksi perjalanan hidupku selama ini. Dengan semangat yang
membara ku awali aktivitas pagi ini. Seperti hari biasanya jika jam dinding
menunjukan pukul 08.00 WIB aku has segera bergegas pergi ke pasar tradisional didekat
rumahku. Ya inilah aku, aku pergi ke pasar bukan menjaja kue, bukan juga seorang kuli angkut. Tugas ku di pasar
itu sebagai tukang parkir, bukan hal yang aneh zaman sekarang ini wanita yang
berprofesi sebagai tukang parkir atau mungkin salah satu dari sekian juta
wanita yang bekerja sebagai tukang parkir. Aku berhenti sekolah setelah lulus
SMA, ayahku tak memiliki biaya untuk meneruskan sekolah kejenjang yang lebih
tinggi. Aku menjadi tukang parkir di pasar ini karena ingin membantu ayahku
yang saat ini banyak dililit hutang . Awalnya aku kecewa dengan Ayah karena
utangnya banyak di mana-mana tapi sekilas terbayang di benakku semua itu ia
lakukan untuk membiyayai ku sekolah.
***
Bedug Magrib telah tiba, Adzan telah
berkumandang di mana-mana dengan wajah yang penuh kelelahan aku pulang ke
rumah. Sebenarnya tempat tinggalku sekarang tidak layak untuk dikatakan sebagai
tempat tinggal sebab bangunan ini sudah
ini sudah sangat tua dan seadanya. Andai ada angin puting beliung mungkin rumah
ini telah roboh dan hancur, tapi
itu semua tak menjadi beban untukku , bagiku rumah ini sudah seperti istana
untuk aku dan ayah, karena terlalu banyak kenangan manis yang ku ukir bersamya.
Ya hanya aku dan ayah, sejak kecil ku hanya dibesarkan ayah, kata ayah aku tak
pernah memiliki ibu, akupun tak pernah ingin tau siapa ibuku . Saat ku ingat
ibu ayah slalu menghiburku dengan leluconnya. Dia bilang ibumu adalah ayah,
ayahlah yang mengandungmu, ayahlah yang menyusuimu, dan ayah pulalah yang
membesarkanmu hingga sekarang ini. Akupun sontak tertawa dengan lelucon ayah
yang konyol dan tidak masuk diakal itu. Tapi sekarang ayah sudah tidak bisa
lagi menghiburku dengan leluconnya, iya sekarang hanya bisa terbaring di tempat
tidurnya, saat ini dia sedang sakit. Saat ia tidur ku sering memperhatikannya
sambil meneteskan air mata ku melihatnya ku perhatikan inci demi inci, badan
yang dulu tegap, kekar sekarang mulai membungkuk , rambut yang dulu hitam sekarang memutih,
kulitnya yang dulu kencang kini mulai keriput . Mungkin itu semua wajar
diusianya yang sudah tua .
***
Malampun tiba, suasana malam yang
sepi begitu terasa, hanya suara jangkrik yang terdengar . Malam itu aku melihat
ayah yang sedang menjahit sebuat switer yang berwarna coklat. Switer itu sudah
terlihat tua dan kusut . Namun ayah tetap berusaha menjahitnya karna hanya
switer itulah satu-satunya yang ia milikki. Aku tak kuasa menahan haru dan
tangis, beribu-ribu air mata jatuh membasahi pipiku, dia rela berkorban,
bekerja banting tulang membiyayai ku sekolah, sehingga ia lupa membeli
barang-barang yang dibutuhkannya itu semua hanya ia lakukan untukku. Sungguh
besar pengorbanan ayah selama ini.
Sedang asyik melihat ayahnya tiba-tiba ayah juga terkejut melihat puteri. “ Put,
kenapa kamu berdiri di situ ? ” . “ Hmm, tidak ayah … tidak apa-apa “ jawabku
sedikit panic, “ Oh, ayo ke sini , ayah sedang menjahit switer, biarpun sudah
tua kayak gini ayah tetap masih bisa masih menjahitnya”. “ Iya yah, kenapa ayah
tidak membeli yang baru ?” Tanya puteri. “ Uang darimana nak, sekarang saja
hutang dimana-mana, ayah malu karena kondisi ayah yang sudah tua ini tak bisa
bekerja lagi, sehingga yah harus memanfaatkanmu untuk mencari uang”. “ Ayah,
kenapa ayah bicara seperti itu bagi puteri ayah adalah salah satu dari sekian
banyak ayah yang terbaik di dunia ini , Puteri beruntung punya Ayah yang selama
ini bisa membesarkan Puteri’’. ‘’ Sudahlah Put, tak usah berlebihan”.
Seperti biasa begitulah ayah, tak
pernah mau membanggakan dirinya sendiri walaupun bagiku sebenarnya ialah
seorang ayah dan ibu, yang baik untukku. Terik matahari yang begitu menyengat
tak membuat semangatku padam untuk bekerja. Setiapku mengingat ayah maka
semakin membara api-api yang membakar semangat itu. Setelah seharian penuh ku
bekerja aku merasa lelah akupun beristirahat sejenak. Aku teringat saat ayah
menjahit switernya, akupun berniat ingin membelikan switer hangat untuk ayah,
karena satu minggu lagi hari ulang tahunnya. Akupun bergegas pulang ke rumah.
Setiba di rumah ku buka celenganku ternyata tabunganku lumayan cukup. Akupun
segera kembali ke pasar, setelah cukup lelah mengelilingi pasar akhirnya ku
dapatkan juga switer itu. Switer biru yang harganya tak begitu mahal , namun
cukup untuk menghangatkan tubuh ayah, dan aku yakin ayah pasti bahagia dengan
switer yang ku berikan ini. Seminggu
berlalu, hari bahagia ayah itu tiba. Switer itu aku bungkus dengan rapi
sehingga menjadi kado yang bagus dan seperti kado yang berhaga mahal, dalam
kado itu aku selipkah sebuah surat. Isi
surat itu berbunyi seperti ini : Ayah, semua yang ku berikan hari ini tidak
cukup membalas dengan apa yang pernah ayah berikan, ayah membesarkanku seorang
diri, ayah merawatku selama ini, lewat surat ini ku sampaikan rasa terimakasihku
kepada ayah, terimalah switer hangat ini. Ini bukan switer mahal Puteri membeli
switer ini dengan jerih payah Puteri. Sekali lagi terimakasih ayah, aku sayang
ayah sampai kapanpun.
Lewat surat
itu ku tumpahkan segala rasa sayangku pada ayah.
Setelah ku berikan kado itu, ayahpun
membaca surat yang ku tulis, ku kira ayah tak menghiraukan surat itu, ternyata
ayah menangis membaca surat itu, akupun ikut menangis. “ Makasih nak” ucap ayah
pada Puteri, sambil menahan air mata. “ Iya yah, Puteri sayang, Ayah harta
Puteri satu-satunya yang sangat berharga” (sambil berpelukan mereka berdua
saling mengasihi layak seperti ayah dan anak ). Saat asyik berkasih sayang
antara Puteri dengan ayahnya, tiba-tiba ayah memulai bicara kembali. “ Put, ayah ingin menceritakan sesuatu”. “
Apa ayah ? Ceritakan saja”. “ Ini soal keberadaanmu, dulu ayah mengadopsimu
dari panti asuhan. Ayah merasa kesepian , karena tidak memiliki pasangan hidup
dan anak”. “ Benar ayah, jadi ayah bukan orang tua kandungku ?” . “ Iya, tapi
sampai kapanpun ayah tetap menganggapmu seperti anak ayah sendiri, apakah kamu
masih mau menjadi anakku ?” . “ Benarkah ayah, Puteri sangat mau, Puteri sayang
ayah, terimakasih ayah”. “Iya sayang…” (sambil berpelukan).
Akhirnya semua telah terungkap,
sekarang Puteri tau kalau dia bukan anak kandung dari ayahnya, namun itu tidak
menjadi masalah , mereka tetap saling mengasihi layaknya seperti anak dan ayah
kandung. Puteripun tak menghiraukan siapa dan dimana orang tua kandungnya berada.
Baginya sekarang yang orang tua kandungnya adalah ayah yang selama ini
membesarkannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar