Sabtu, 26 Mei 2012


                               


Switer Hangat untuk Ayah

                                                            Karya : Marisa Nafilah
           
            Pagi yang cerah mengawali aktivitasku hari ini, dengan pakaianku yang seadanya dan tak ketinggalan topi butut yang menjadi saksi perjalanan hidupku selama ini. Dengan semangat yang membara ku awali aktivitas pagi ini. Seperti hari biasanya jika jam dinding menunjukan pukul 08.00 WIB aku has segera bergegas pergi ke pasar tradisional didekat rumahku. Ya inilah aku, aku pergi ke pasar bukan menjaja kue, bukan  juga seorang kuli angkut. Tugas ku di pasar itu sebagai tukang parkir, bukan hal yang aneh zaman sekarang ini wanita yang berprofesi sebagai tukang parkir atau mungkin salah satu dari sekian juta wanita yang bekerja sebagai tukang parkir. Aku berhenti sekolah setelah lulus SMA, ayahku tak memiliki biaya untuk meneruskan sekolah kejenjang yang lebih tinggi. Aku menjadi tukang parkir di pasar ini karena ingin membantu ayahku yang saat ini banyak dililit hutang . Awalnya aku kecewa dengan Ayah karena utangnya banyak di mana-mana tapi sekilas terbayang di benakku semua itu ia lakukan untuk membiyayai ku sekolah.

                                                                  ***
            Bedug Magrib telah tiba, Adzan telah berkumandang di mana-mana dengan wajah yang penuh kelelahan aku pulang ke rumah. Sebenarnya tempat tinggalku sekarang tidak layak untuk dikatakan sebagai tempat tinggal  sebab bangunan ini sudah ini sudah sangat tua dan seadanya. Andai ada angin puting beliung mungkin rumah ini telah roboh dan hancur, tapi itu semua tak menjadi beban untukku , bagiku rumah ini sudah seperti istana untuk aku dan ayah, karena terlalu banyak kenangan manis yang ku ukir bersamya. Ya hanya aku dan ayah, sejak kecil ku hanya dibesarkan ayah, kata ayah aku tak pernah memiliki ibu, akupun tak pernah ingin tau siapa ibuku . Saat ku ingat ibu ayah slalu menghiburku dengan leluconnya. Dia bilang ibumu adalah ayah, ayahlah yang mengandungmu, ayahlah yang menyusuimu, dan ayah pulalah yang membesarkanmu hingga sekarang ini. Akupun sontak tertawa dengan lelucon ayah yang konyol dan tidak masuk diakal itu. Tapi sekarang ayah sudah tidak bisa lagi menghiburku dengan leluconnya, iya sekarang hanya bisa terbaring di tempat tidurnya, saat ini dia sedang sakit. Saat ia tidur ku sering memperhatikannya sambil meneteskan air mata ku melihatnya ku perhatikan inci demi inci, badan yang dulu tegap, kekar sekarang mulai membungkuk  , rambut yang dulu hitam sekarang memutih, kulitnya yang dulu kencang kini mulai keriput . Mungkin itu semua wajar diusianya yang sudah tua .

                                                                        ***
            Malampun tiba, suasana malam yang sepi begitu terasa, hanya suara jangkrik yang terdengar . Malam itu aku melihat ayah yang sedang menjahit sebuat switer yang berwarna coklat. Switer itu sudah terlihat tua dan kusut . Namun ayah tetap berusaha menjahitnya karna hanya switer itulah satu-satunya yang ia milikki. Aku tak kuasa menahan haru dan tangis, beribu-ribu air mata jatuh membasahi pipiku, dia rela berkorban, bekerja banting tulang membiyayai ku sekolah, sehingga ia lupa membeli barang-barang yang dibutuhkannya itu semua hanya ia lakukan untukku. Sungguh besar pengorbanan ayah selama ini. Sedang asyik melihat ayahnya tiba-tiba ayah juga terkejut melihat puteri. “ Put, kenapa kamu berdiri di situ ? ” . “ Hmm, tidak ayah … tidak apa-apa “ jawabku sedikit panic, “ Oh, ayo ke sini , ayah sedang menjahit switer, biarpun sudah tua kayak gini ayah tetap masih bisa masih menjahitnya”. “ Iya yah, kenapa ayah tidak membeli yang baru ?” Tanya puteri. “ Uang darimana nak, sekarang saja hutang dimana-mana, ayah malu karena kondisi ayah yang sudah tua ini tak bisa bekerja lagi, sehingga yah harus memanfaatkanmu untuk mencari uang”. “ Ayah, kenapa ayah bicara seperti itu bagi puteri ayah adalah salah satu dari sekian banyak ayah yang terbaik di dunia ini , Puteri beruntung punya Ayah yang selama ini bisa membesarkan Puteri’’. ‘’ Sudahlah Put, tak usah berlebihan”.
                                                                        ***
            Seperti biasa begitulah ayah, tak pernah mau membanggakan dirinya sendiri walaupun bagiku sebenarnya ialah seorang ayah dan ibu, yang baik untukku. Terik matahari yang begitu menyengat tak membuat semangatku padam untuk bekerja. Setiapku mengingat ayah maka semakin membara api-api yang membakar semangat itu. Setelah seharian penuh ku bekerja aku merasa lelah akupun beristirahat sejenak. Aku teringat saat ayah menjahit switernya, akupun berniat ingin membelikan switer hangat untuk ayah, karena satu minggu lagi hari ulang tahunnya. Akupun bergegas pulang ke rumah. Setiba di rumah ku buka celenganku ternyata tabunganku lumayan cukup. Akupun segera kembali ke pasar, setelah cukup lelah mengelilingi pasar akhirnya ku dapatkan juga switer itu. Switer biru yang harganya tak begitu mahal , namun cukup untuk menghangatkan tubuh ayah, dan aku yakin ayah pasti bahagia dengan switer yang ku berikan ini.Seminggu berlalu, hari bahagia ayah itu tiba. Switer itu aku bungkus dengan rapi sehingga menjadi kado yang bagus dan seperti kado yang berhaga mahal, dalam kado itu aku selipkah sebuah surat.  Isi surat itu berbunyi seperti ini : Ayah, semua yang ku berikan hari ini tidak cukup membalas dengan apa yang pernah ayah berikan, ayah membesarkanku seorang diri, ayah merawatku selama ini, lewat surat ini ku sampaikan rasa terimakasihku kepada ayah, terimalah switer hangat ini. Ini bukan switer mahal Puteri membeli switer ini dengan jerih payah Puteri. Sekali lagi terimakasih ayah, aku sayang ayah sampai kapanpun.
Lewat surat itu ku tumpahkan segala rasa sayangku pada ayah.
                                                                        ***
            Setelah ku berikan kado itu, ayahpun membaca surat yang ku tulis, ku kira ayah tak menghiraukan surat itu, ternyata ayah menangis membaca surat itu, akupun ikut menangis. “ Makasih nak” ucap ayah pada Puteri, sambil menahan air mata. “ Iya yah, Puteri sayang, Ayah harta Puteri satu-satunya yang sangat berharga” (sambil berpelukan mereka berdua saling mengasihi layak seperti ayah dan anak ). Saat asyik berkasih sayang antara Puteri dengan ayahnya, tiba-tiba ayah memulai bicara kembali.  “ Put, ayah ingin menceritakan sesuatu”. “ Apa ayah ? Ceritakan saja”. “ Ini soal keberadaanmu, dulu ayah mengadopsimu dari panti asuhan. Ayah merasa kesepian , karena tidak memiliki pasangan hidup dan anak”. “ Benar ayah, jadi ayah bukan orang tua kandungku ?” . “ Iya, tapi sampai kapanpun ayah tetap menganggapmu seperti anak ayah sendiri, apakah kamu masih mau menjadi anakku ?” . “ Benarkah ayah, Puteri sangat mau, Puteri sayang ayah, terimakasih ayah”. “Iya sayang…” (sambil berpelukan).
                                                                        ***
            Akhirnya semua telah terungkap, sekarang Puteri tau kalau dia bukan anak kandung dari ayahnya, namun itu tidak menjadi masalah , mereka tetap saling mengasihi layaknya seperti anak dan ayah kandung. Puteripun tak menghiraukan siapa dan dimana orang tua kandungnya berada. Baginya sekarang yang orang tua kandungnya adalah ayah yang selama ini membesarkannya.
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar